FENOMENA HUKUM NEWS || LUBUK LINGGAU
Skandal proyek dinding penahan tanah (talud) di RT. 04, Kelurahan Tapak Lebar, memasuki babak baru. Kasus dugaan cacat mutu fatal yang melibatkan pemilik proyek berinisial S., yang rangkap jabatan sebagai Pimpinan Redaksi media dan Ketua LSM Anti Korupsi, kini berujung pada kecaman keras dari organisasi pers nasional dan keputusan Dewan Redaksi untuk membawa S. ke ranah pidana atas dugaan fitnah dan pencemaran nama baik. Selasa, 2 Desember 2025.
Investigasi di lapangan menunjukkan bukti kuat pelanggaran teknis yang serius. Proyek dana aspirasi ini diduga keras hanya dikerjakan secara "tambal sulam" tanpa pondasi mandiri syarat vital kestabilan talud. Selain cacat mutu, proyek ini juga melanggar transparansi karena tidak memasang papan informasi (proyek "siluman").
Upaya Redaksi untuk meminta klarifikasi teknis mengenai bobroknya pekerjaan tersebut menghadapi serangkaian penghambatan:
Intimidasi Wartawan: Saat wartawan menghubungi S. untuk konfirmasi, S. langsung menunjukkan penolakan. S. dilaporkan membentak wartawan, melontarkan kalimat bernada ancaman ("Kau tidak kenal saya," serta "kamu tidak tahu siapa saya"), dan memaksa wartawan untuk bertemu.
Escalasi ke Pimpinan Redaksi: Karena penolakan dan bentakan tersebut, wartawan yang bertugas segera memberikan nomor telepon Yogi, Pelaksana Proyek Lapangan, kepada Pimpinan Redaksi untuk mendapatkan konfirmasi lanjutan.
Lempar Tanggung Jawab Pelaksana Lapangan: Pimpinan Redaksi kemudian menghubungi Yogi. Namun, Yogi menolak memberikan informasi substantif, dengan alasan: "Hubungi saja bosnya. Saya hanya pelaksana lapangan."
Akses ke Bos: Tak lama kemudian, Yogi memberikan nomor telepon S. kepada Pimpinan Redaksi.
Saat Pimpinan Redaksi berhasil terhubung dan memperkenalkan diri secara baik-baik, S. justru menunjukkan sikap konfrontatif dan menolak bertanggung jawab. Dalam percakapan yang terekam utuh dengan durasi 17 menit 28 detik, S. langsung membalas sapaan dengan nada meremehkan dan mencoba mendelegitimasi:
S. mengawali dengan: "Kamu siapa mau apa?"
S. menolak memberikan keterangan karena merasa tidak mengenal Pimpinan Redaksi.
S. juga mempertanyakan kewenangan konfirmasi, dengan sindiran: "pimpinan redaksi kok konfirmasi," sambil memamerkan jabatannya: "saya juga pimpinan redaksi, juga ketua LSM."
S. kemudian menanyakan posisi Pimpinan Redaksi yang dijawab berada di Jakarta. S. membalas dengan tantangan meremehkan: "mainlah sesekali ke Lubuklinggau biar kamu tahu kami semua wartawan." Puncak arogansi S. adalah saat ia menantang balik proses jurnalisme ini: S. mempersilahkan Pimpinan Redaksi untuk menaikkan berita, bahkan menantang "silahkan saja naikkan beritanya dari 50 media sampai 1000 media."
Di tengah semua arogansi ini, S. juga menuding Pimpinan Redaksi tidak berhak melakukan konfirmasi dan menuding "bukan seorang wartawan."
Terakhir, S. melancarkan serangan balik yang lebih serius. S. menuduh adanya upaya "pengkondisian" atau pemerasan uang oleh oknum wartawan siber nasional—tuduhan yang diduga kuat sebagai dalih putus asa untuk mengalihkan perhatian dari kegagalan S. mempertanggungjawabkan proyek yang ia kerjakan.
Tudingan S. yang menyebut Pimpinan Redaksi tidak berhak melakukan konfirmasi dan bukan seorang wartawan adalah klaim yang menunjukkan ketidaktahuan S. terhadap Undang-Undang Pers (UU Pers) yang seharusnya ia pahami sebagai Ketua LSM Anti Korupsi.
Agar S. dan publik memahami dasar hukum yang benar, berikut penjelasan sesuai UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers:
1. Pimpinan Redaksi Adalah Bagian dari Pers: Pasal 1, angka 4 UU Pers mendefinisikan Wartawan sebagai orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Pimpinan Redaksi, yang memegang tanggung jawab tertinggi atas seluruh isi redaksi (Pasal 9 UU Pers), adalah profesional pers dan secara praktik memegang sertifikasi kompetensi tertinggi. Kewenangan konfirmasi Pimpinan Redaksi adalah mutlak.
2. Hak Konfirmasi Adalah Kewajiban Pers: Pasal 4 UU Pers menjamin pers nasional memiliki hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Pimpinan Redaksi wajib melakukan konfirmasi (Hak Jawab dan Hak Koreksi) sesuai Kode Etik Jurnalistik (KEJ) demi menjamin akurasi dan keberimbangan berita.
Pernyataan S. yang mencoba mendelegitimasi upaya konfirmasi ini tidak berdasar hukum, melainkan hanya upaya intimidasi untuk menghalangi tugas pers.
Perilaku S. yang menyebarkan fitnah dan menghalang-halangi kerja pers menuai reaksi keras dari organisasi profesi.
Ali Sofyan, Wakil Ketua Umum Ikatan Wartawan Online Indonesia (IWOI), menyatakan geram dan mengecam keras tindakan S. "Perilaku S. bukan hanya arogan, tetapi juga menunjukkan praktik yang koruptif dengan menggunakan jabatan ganda untuk menantang proses jurnalisme dan menciptakan situasi intimidatif dengan paksaan bertemu. Ini adalah pelecehan terhadap profesi. Kami mendesak aparat penegak hukum untuk tidak hanya mengusut dugaan korupsi proyeknya, tetapi juga menindak keras upaya perlindungan diri S. melalui fitnah dan ancaman terhadap pers," tegasnya.
Di sisi lain, Hermanius Borunaung, Ketua Umum Perkumpulan Pimpinan Redaksi Indonesia Maju (PRIMA), turut menyatakan geram dan mengecam keras upaya S. mendelegitimasi Pimpinan Redaksi. "Klaim S. yang membantah hak konfirmasi Pimpinan Redaksi adalah kebodohan hukum dan serangan buta terhadap Undang-Undang Pers. Ini diperparah dengan rangkap jabatannya yang jelas menciderai etika publik dan menimbulkan konflik kepentingan. Kami mengecam keras perilaku seperti ini, menuntut pertanggungjawaban S., dan mendukung penuh langkah hukum yang diambil Redaksi," ujar Hermanius.
Redaksi segera melakukan kroscek dengan pihak yang dituduhkan oleh S. Hasilnya, oknum wartawan yang dimaksud memberikan bantahan keras. Ia menegaskan tidak pernah melakukan pemerasan, tidak pernah meminta uang, dan tidak pernah mencatut nama redaksi atau pimpinan.
Tindakan S. yang menyebarkan fitnah, sekaligus menyerang kehormatan dan profesionalisme Pimpinan Redaksi, dipandang sebagai pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong yang merusak marwah institusi pers.
Setelah berkoordinasi dengan Dewan Redaksi, Staf Hukum, Dewan Pakar, Penasihat, dan Pembina, diputuskan untuk mengambil langkah hukum yang jelas dan terukur.
Peluang Permintaan Maaf (Maksimal 12 Jam): Redaksi masih memberikan peluang kepada S. Bilamana dalam tempo sesingkat-singkatnya, maksimal 12 jam sejak berita ini diterbitkan, S. tidak memberikan permohonan maaf tertulis dalam kop resmi, maka proses hukum akan segera dilanjutkan.
Langkah Tegas: Redaksi akan segera melaporkan S. ke kepolisian atas dugaan fitnah, pencemaran nama baik, dan pelecehan profesi yang terekam dalam percakapan konfirmasi tersebut.
Mengingat kompleksitas masalah yang melibatkan cacat mutu, arogansi, konflik kepentingan ganda S., hingga dugaan penyebaran fitnah, Redaksi mendesak:
Kejaksaan Tinggi dan Polda Sumsel: Wajib bergerak cepat melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap dugaan tindak pidana korupsi pada proyek talud.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK): Segera melakukan Audit Investigatif secara menyeluruh untuk menghitung kerugian negara akibat kualitas bangunan yang tidak layak.
Kasus ini harus dikawal tuntas demi tegaknya supremasi hukum. Penyelesaian tuntas kasus ini, bilamana berhasil ditangani dalam satu kali proses hukum yang komprehensif, diharapkan dapat memberikan efek jera maksimal atas praktik rangkap jabatan yang menyalahgunakan wewenang dan menghalangi kerja pers.
(PRIMA)
